SEJARAH DUNIA

 JAGUAR33.NEWS

Jugun Ianfu.


Adalah mimpi buruk para wanita jajahan Jepang pada masa Perang Dunia II yang tidak terjamah buku-buku pelajaran di sekolah. Para wanita itu menjadi budak seks tentara Jepang pada masanya (1942–1945), yang di mana Jugun Ianfu termasuk di dalamnya adalah orang Jepang, Korea, Tiongkok, Malaya (Malaysia dan Singapura), Thailand, Filipina, Indonesia, Myanmar, Vietnam, Indo, orang Eropa di beberapa daerah kolonial (Inggris, Belanda, Prancis, Postugis), dan penduduk kepulauan Pasifik.


Awalnya Jugun Ianfu sendiri dibagi menjadi 3 perekrutan. Pertama, sukarela: yang dimana wanita Jepang sendiri dengan sukarela menjadi bagian dari Jugun Ianfu karena merasa hal itu adalah pengabdian bagi negara. Kedua, iming-iming masa depan yang lebih baik: yang dimana wanita Korea, China dan Malaya akhirnya menjadi korban karena kedok mendapat pendidikan yang layak dan masa depan yang cerah. Ketiga, paksaan: ya, para wanita Indonesia menerima hal pahit itu.

Aku akan menceritakan sebagian kisah dari Jugun Ianfu yang telah melukai psikologis maupun fisik beberapa wanita Indonesia. Kengerian masa remaja yang diwarnai dengan ruang-ruang kosong bagai penjara.

Mardiyem (Almh.), Sang Pejuang keadilan bagi Jugun Ianfu.


Meskipun sudah renta, ia tetap memperjuangkan hak-hak wanita Jugun Ianfu. Mewakili rekan-rekan senasib, ia memperjuangkan keadilan, menuntut pemerintah Jepang untuk meminta maaf secara resmi dan pribadi serta memberikan kompensasi kepada para perempuan yang menjadi “budak nafsu” tentara Jepang selama masa penjajahan Jepang di Indonesia.


Tapi bagian sedih itu tidak langsung berakhir. Sampai akhir hayatnya, apa yang ia perjuangkan tidak terealisasikan. Untuk bertahan hidup di sisa usia, para Jugun Ianfu hanya mengandalkan sumbangan dari para relawan.

Dalam sehari, Mardiyem bahkan dipaksa untuk melayani hingga 6 orang lelaki sampai membuatnya mengalami pendarahan.


Membaca pengakuan Almarhumah Ibu Mardiyem, aku tidak berani hanya untuk sekadar membayangkan bagaimana getirnya masa itu. Sungguh keji apa yang telah mereka lakukan.

Rita, wanita beruntung yang berhasil lari dari mimpi buruk karena penyamarannya.


Potret Rita la Fontaine de Clercq Zubli di buku memoarnya tentang masa pendudukan Jepang 1942-45. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Suatu ketika seorang postur mengunjungi rumah Rita dan memberitahu orangtuanya perihal Jugun Ianfu. Postur tersebut menyarankan agar Rita memotong pendek rambutnya menyerupai laki-laki, tentu tidak lain karena ingin melindungi Rita.


Setelah perubahan penampilan Rita, serta namanya pun berubah menjadi Richard agar penyamaran tampak sempurna, pada pertengahan Februari 1943, Jepang membabat Jambi. Semua warga Belanda (yang pada saat itu Rita adalah keturunan Indo-Belanda) digiring untuk pemeriksaan di sebuah kantor polisi di bawah pengawasan Jepang.

Selama pendudukan Jepang, dia bermukim di kamp tawanan Jambi dan Palembang.


Setelah Jepang kalah perang, Rita kembali menjalani hidup sebagai perempuan muda. Kemudian menikah dan dikaruniai empat orang anak.

Sri Sukanti (Almh.), terus bertahan di atas sengsara.


Umur 9 tahun, Sri Sukanti dipaksa untuk melayani Ogawa—seorang komandan regu. Pada waktu yang sama Sri Sukanti kecil di bawa ke kediaman Ogawa untuk melancarkan aksi bejatnya.


Sri Sukanti berkali-kali disuntikkan obat anti hamil di pinggul kirinya dan berdampak panjang, ia tidak bisa memiliki anak.


Mungkin masih banyak lagi wanita-wanita yang menjadi saksi atas kekejian Jugun Ianfu di Indonesia, namun namanya tak pernah dikenal. Bahkan korban Jugun Ianfu sendiri diperkirakan mencapai 20.000 sampai 30.000. Membaca kisah sejarah ini punya tempat istimewa sendiri di aku. Cerita pahit yang bahkan waktu aku tanya ke teman-temanku mereka banyak yang nggak tahu. Aku jadi ingat satu film yang mengisahkan tentang kisah yang sama.


Sebuah cerita yang seharusnya tidak boleh terlupakan.


SITUS SLOT GACOR TERBAIK DI INDONESIA

Komentar

Postingan Populer